PROBLEMATIKA ZAKAT AGROBISNIS DEWASA INI
DOI:
https://doi.org/10.64454/tj.v3i02.46Abstrak
Para ulama berbeda pendapat mengenai zakat, apakah ia ibadah mahdlah yang termasuk ta’abbudi, di mana akal tidak memegang peranan penting, ijtihad dan qiyas tidak berlaku, bersifat dogmatis, sehingga tidak boleh mengubah, baik menambah atau mengurangi. Ataukah zakat masuk wilayah ta’aqquli yang karena itu bersifat fleksibel, reasonable di mana ijtihad, qiyas mempunyai ladang yang relatif luas. Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa kewajiban zakat adalah ta’abbudi, tetapi penentuan jenis-jenisnya adalah ta’aqquli. Karena ta’aqquli, maka semua jenis hasil tanaman wajib dizakati sepanjang menjadi makanan pokok dan tahan disimpan. Sementara Abu Hanifah berpendapat bahwa segala macam yang dikeluarkan oleh bumi wajib dizakati kecuali kayu bakar, rumput dan bambu. Dewasa ini pertanian yang lebih dikembangkan ke arah agrobisnis. Hasil tanaman, seperti tebu, rambutan, mangga, jeruk, dan apel bukan sekedar dikonsumsi sendiri oleh petani, tetapi juga diperdagangkan. Karena itu, zakatnya dikategorikan dalam hitungan zakat tijarah. Memang dari aspek jenis maupun karakternya, zakat agrobisnis (tijarah) tidak jelas dalilnya, tetapi bila dilihat dari segi investasi dan hasil yang didapat para petani agrobisnis cukup besar, dapat mencapai puluhan juta, bahkan ratusan juta rupiah. Itulah sebabnya persoalan zakat agrobisnis masih menarik untuk diteliti.





